Senin, 30 Januari 2017

Environmental Impact Analys



AMDAL
(Analysis Mengenai Dampak Lingkungan)

-Pengertian AMDAL          

            Pengertian Amdal | Analisis Mengenai Dampak Lingkungan| Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yaitu kajian perihal dampak besar serta penting suatu usaha dan/atau aktivitas yang direncanakan pada lingkungan hidup yang dibutuhkan untuk proses pengambilan keputusan mengenai penyelenggaraan usaha dan/atau aktivitas di Indonesia. AMDAL ini di buat saat perencanaan suatu proyek yang diprediksikan dapat memberi pengaruh pada lingkungan hidup di sekitarnya.

            Analisis mengenai dampak lingkungan muncul sebagai jawaban atas keprihatinan mengenai dampak negatif dari aktivitas manusia, terutama pencemaran lingkungan akibat aktivitas industri pada tahun 1960-an. Mulai sejak itu AMDAL sudah menjadi alat utama untuk mengerjakan bebrapa aktivitas manajemen yang bersih lingkungan serta selalu melekat pada tujuan pembangunan yang berkepanjangan.


            AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dampak besar dan penting yang dimaksud adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

Dampak penting AMDAL ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Jumlah manusia yang akan terkena dampak, manusia yang terkena dampak lingkungan tapi tidak menikmati manfaat usaha tersebut.
2. Luas wilayah persebaran dampak, luasan wilayah yang mengalami perubahan mendasar.
3. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung.
4. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak, dampak sekunder dan dampak lanjutan lain yang jumlahnya sama dengan penerima dampak primer.
5. Sifat kumulatif dampak, dampak lingkungan berlangsung terus-menerus sehingga pada kurun waktu tertentu tidak dapat diterima lingkungan.
6. Berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak, pemulihan kembali dampak lingkungan.

-Parameter AMDAL

            Didalam parameter AMDAL terdapat beberapa studi yang harus dipelajari yaitu :
- Komponen Geo-Fisik-Kimia,
- Komponen Biotis,
- Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya,
- Komponen Kesehatan Masyarakat.
            Serta didalam parameter AMDAL terdapat beberapa peraturan undang-undang mengenai dampak lingkungan dan yang mendukung studi analisis salah satunya adalah tentang peraturan perumahan,pemukiman, lalu lintas,pokok-pokok agraria,konservasi Sumber daya Alam,dan sebagainya.
             Dan juga terdapat keputusan pemerintah tentang parameter AMDAL yang tidak bisa disebutkan satu-satu. Kesimpulannya adalah AMDAL merupakan studi kelayakan tentang dampak kerusakan yang wajib dianalisis bahkan dipelajari.



-Dokumen AMDAL terdiri dari :
     
- Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
- Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
- Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
- Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.



-Prosedur-prosedur AMDAL

Prosedur AMDAL terdiri dari :

- Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
- Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
- Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
- Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL

            Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.

Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).

Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).

Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.



Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.

     UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :

- Identitas pemrakarsa
- Rencana Usaha dan/atau kegiatan
- Dampak Lingkungan yang akan terjadi
- Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Tanda tangan dan cap

            Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota.
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota.
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara.

Sumber :

Bendungan Jati Gede


BENDUNGAN JATI GEDE
(Peranan Perencanaan Fisik Bangunan)

            Waduk Jatigede merupakan sebuah waduk yang sedang dibangun di Kabupaten Sumedang. Pembangunan waduk ini telah lama direncanakan dan proses pembangunannya masih berlangsung hingga kini. Waduk ini dibangun dengan membendung aliran Sungai Cimanuk di wilayah Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang.
            Pembangunan waduk ini telah direncanakan sejak zaman Hindia Belanda. Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda merencanakan pembangunan tiga waduk di sepanjang aliran Sungai Cimanuk, dan waduk Jatigede merupakan waduk utama dan yang paling besar. Namun, pembangunan ketiga waduk itu mendapatkan tentangan dari masyarakat sekitar, sehingga pembangunannya pun dibatalkan.


            Baru pada tahun 1990-an, rencana pembangunan waduk Jatigede kembali menghangat. Langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah merelokasi masyarakat yang tinggal di wilayah calon genangan. Relokasi pertama dilakukan pada tahun 1982.
            Saat ini informasi yang beredar di berbagai media adalah hanya sebatas masalah ganti rugi lahan saja padahal terdapat beberapa masalah yang lebih penting yang seharusnya dijadikan pertimbangan Bapak untuk mengambil keputusan yang akurat:
  1. Masalah Budaya dan Spiritual:
    1. Lebih dari 25 Situs Cagar Budaya terancam rusak/ ditenggelamkan, Situs melekat pada koordinat tempatnya, tidak bisa direlokasi atau dipindah.
    2. Situs- situs Cagar Budaya merupakan bagian dari keyakinan spiritual masyarakat setempat sehingga jangan sampai Tragedi Mbah Priuk terjadi di Jatigede.
    3. Tragedi Dam Rasi Salai di Thailand dapat terjadi Jatigede, masyarakat berdiri dihadapan bendungan pada saat peresmian penggenangan sehingga Pemerintah Thailand akhirnya membatalkan penggenangan.

  1. Masalah Geologi : Lokasi bendungan berada di daerah soft geology yang rawan/ labil karena berada pada lempeng/ sesar aktif Baribis, pergerakan lempengnya setiap saat dapat menyebabkan ambrolnya bendungan. Potensi bencana geologis dengan resiko terbesar dalam sejarah Indonesia harus dipertimbangkan dengan acuan sebagai berikut:

    • Bendungan Jatigede apabila digenangi secara penuh dan ambrol sangat membahayakan, 1 milyar m3 air bisa tumpah dan menimbulkan Tsunami bagi masyarakat di hilir bendungan. Situ Gintung volumenya 1 juta m3 sehingga apabila Jatigede Ambrol dampaknya 1000 kali Jebolnya Situ Gintung.
    • Ambrolnya Bendungan Banqiao di China tahun 1975 telah menewaskan 231.000 Jiwa, jangan sampai kejadian tersebut terjadi di Indonesia.
    • Sudah ada uga/ ramalan dari leluhur bahwa apabila Bendungan Jatigede digenangi sampai menenggelamkan situs- situs cagar budaya maka akan membangunkan “Keuyeup Bodas” yang akan menjebol bendungan. Mithos “Keuyeup Bodas” secara geologi diyakini berkaitan erat dengan Lempeng Aktif Baribis yang secara kasat mata dapat dilihat sangat dekat dengan fisik bendungan Jatigede, masyarakat menyebutnya Bukit Pareugreug.
    • Bencana yang ditimbulkan akibat pergerakan lempeng aktif adalah Tsunami Aceh 26 Desember 2004 dimana Lempeng Hindia bertubrukan dengan Lempeng Burma yang menimbulkan gempa lebih dari 9 skala richter.

  1. Masalah Lingkungan: Terdapat 1389 Hektar Hutan Perhutani dihuni oleh sekitar 810.000 pohon dengan berbagai keanekaragaman hayatinya yang terancam akan ditebang karena lokasinya persis di depan fisik bendungan. Sangat ironis membangun bendungan penampung air namun justru akan menebang ratusan ribu pohon yang berfungsi sebagai sumber air. Tidak mengherankan apabila di musim kemarau banyak bendungan yang mengalami kekeringan;

  1. Masalah Sumber Daya Alam: Kekayaan keanekaragaman hayati daerah genangan Jatigede sangat baik terdiri dari pertanian (Sawah Subur minimal dua kali panen, banyak yang tiga kali), peternakan sapi dan domba, perkebunan, tanaman hortikultura, tanaman obat, perikanan air tawar dan lainnya. Kabuyutan Cipaku seharusnya menjadi contoh Desa Mandiri karena merupakan desa agraris yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri / “Self Suistained Village”. Jangan sampai menenggelamkan yang sudah baik dan mengejar yang belum tentu baik.

  1. Masalah Sosial: Bendungan merusak tatanan sosial dan budaya masyarakat yang sudah terbentuk di kampung buhun Kabuyutan Cipaku yang merupakan Desa Mandiri, self sustained village yang seharusnya menjadi contoh desa di Indonesia;

  1. Masalah Ekonomi: Lebih dari 16.000 Kepala Keluarga yang saat ini mendiami daerah genangan bendungan akan kehilangan rumah dan mata pencahariannya sehingga berpotensi menambah kemiskinan di Indonesia;

  1. Masalah Sedimentasi: Saat ini Sungai Cimanuk sedang sakit karena terjadi erosi dibagian hulunya sehingga arus sedimentasi yang sangat tinggi akan memperpendek umur bendungan juga akan memperpendek umur turbin PLTA;

  1. Masalah Efektifitas Bendungan: Lahan pertanian di hilir bendungan semakin berkurang karena alih fungsi Lahan di hilir bendungan yaitu Daerah Pantura telah menjadi kawasan pabrik, industri, perumahan, jalan tol, bandara, dan lainnya;

  1. Masalah Konflik Agraria: Terdapat beberapa konflik agraria yang masih belum terselesaikan diantaranya:
    • Lebih dari 12.000 komplain masyarakat yang teridentifikasi oleh BPKP yang harus diselesaikan oleh Pemerintah dari mulai pembebasan lahan yang salah/ kurang/ belum di bayar, salah klasifikasi lahan, dan lainnya.
    • Pembebasan tanah tahun 1982 – 1986 masyarakat hanya menerima 1/14 dari total pembayaran yang seharusnya karena seharusnya dibayarkan per meter persegi namun yang diterima per bata/ per tumbak (1 bata = 14 m2) sehingga masyarakat menganggap pemerintah baru membayar uang muka sebesar 1/14 atau sekitar 7%, dan setelah 30 tahun tidak ada realisasi maka transaksi batal (banyak masyarakat yang masih menganggap tanah dan rumah adalah milik mereka sendiri sehingga patok atau plang tanah milik negara pun dicabut).
    • Untuk pembebasan tanah dan bangunan setelah tahun 1986 pembayaran telah selesai dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
    • Pemerintah harus menggelontorkan dana APBN yang cukup besar untuk menyelesaikan masalah- masalah tersebut di atas.

Berdasarkan masalah- masalah tersebut di atas maka solusi yang dapat dilakukan adalah:
  1. Tidak menggenangi/ mengisi Bendungan Jatigede dan mengembangkan kawasan bendungan yang tidak jadi digenangi sebagai Taman Budaya Nusantara yang mendatangkan kegiatan ekonomi kreatif dan pariwisata alam terpadu yang menguntungkan masyarakat tetapi harmonis dengan situasi laboratorium kebumian dan situs-situs cagar budaya dan spiritual yang ada;

  1. Fisik Bendungan yang telah terbangun dapat dijadikan Monumen Konservasi Budaya dan Lingkungan sesuai dengan semangat Revolusi Mental dan Indonesia Hebat yang mengangkat kearifan lokal sebagai salah satu penggerak pembangunan nasional;

  1. Tidak menebang/ tetap menjaga kelestarian hutan Perhutani seluas 1389 Ha yang dihuni sekitar 810.000 pohon sebagai sumber plasma nutfah dengan berbagai keanekaragaman hayatinya;

  1. Tidak melakukan relokasi situs-situs cagar budaya dan spiritual serta tidak merelokasi kampung buhun beserta masyarakat kabuyutan yang tinggal disekitar lokasi situs- situs cagar budaya dan tetap menjaga kelestarian rumah adat kabuyutan serta tatanan sosial budaya masyarakat yang harmonis dan agamis;

  1. Menjadikan laboratorium kebumian dan situs-situs cagar budaya tersebut sebagai Geo Park dan Cagar Budaya Nasional serta mendaftarkannya kepada UNESCO sebagai salah satu “World Heritage Sites” dan “Geo Park” di Indonesia;

  1. Membangun beberapa bendungan kecil baru sebagai pengganti Bendungan Jatigede di hulu Sungai Cimanuk dengan luasan tidak lebih dari 300 Ha di lokasi yang tidak ada Situs Cagar Budaya serta tidak rawan konflik, alternatif lokasi bendungan baru yaitu di Daerah Beureum Beungeut;

  1. Melakukan reboisasi hutan dan merevitalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk sebagai sumber pasokan air untuk kepentingan pertanian dan perikanan yang beragam, menguntungkan, dan menyejahterakan para petani dan pelaku usaha lainnya;

  1. Mengembangkan padi SRI yang relatif sedikit membutuhkan air dan tidak memaksakan tanah yang tidak cocok untuk ditanam padi, ada berbagai alternatif tanaman yang cocok dengan iklim dan kondisi tanahnya diantaranya dapat mengembangkan tanaman hortikultura, sayuran, dan lainnya yang lebih tinggi nilainya dari pada padi;

  1. Solusi untuk mengatasi banjir adalah dengan cara memulihkan kembali kawasan hutan lindung di hulu DAS, merevitalisasi DAS – DAS kecil, dan system drainase harus benar;

  1. Solusi untuk konflik agraria dengan masyarakat adalah:
    1. Untuk lahan yang sudah dibebaskan sepenuhnya, pembebasan tanah setelah 1986 dapat dibuat mekanismeu:
      • system bagi hasil yang saling menguntungkan dan tidak membebani warga masyarakat yang mengolah atau menggunakan tanah milik pemerintah tersebut.
      • Dapat dibentuk Badan Otonom untuk mengelola tanah negara tersebut seperti Badan Taman Nasional dalam Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang dapat memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
      • Ditawarkan opsi “Buy Back” dibeli kembali oleh masyarakat dengan cara dicicil secara bertahap sesuai pembayaran yang telah diterima dahulu oleh masyarakat.

    1. Khusus untuk pembebasan tanah tahun 1982 –1986 dimana masyarakat masih mengakui sebagai tanah miliknya sendiri karena baru dibayarkan Uang Muka sebesar 1/14 dari pembayaran seharusnya dan setelah lebih dari 30 tahun tidak ada tindak lanjut maka tanah dan bangunan dapat dikembalikan lagi kepada masyarakat.

  1. Pemerintah dapat menghemat anggaran APBN karena tidak perlu mengeluarkan uang ganti rugi ataupun dana untuk menyelesaikan konflik agraria yang nilainya sangat besar bisa mencapai trilyunan rupiah dan belum tentu masalahnya selesai tuntas. Pemerintah sebaliknya akan mendapatkan tambahan penghasilan dari system bagi hasil dengan masyarakat dan hasil pembelian kembali masyarakat.

            Aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat, khususnya di antara para pakar, pemerhati, dan praktisi masalah-masalah lingkungan, budaya dan spiritualitas adalah menjaga kelestarian fungsi laboratorium kebumian, fungsi lingkungan hidup, fungsi sumber daya alam, fungsi situs-situs cagar budaya dan spiritual, serta terhadap keutuhan jatidiri dan keberlanjutan kehidupan yang sejahtera dari masyarakat pemangku kepentingan dari situs-situs tersebut.